Perumpamaan mungkin, oleh kebanyakan pengkhotbah, dianggap
sebagai genre Alkitab yang paling mudah dikhotbahkan. Namun bagi
pengkhotbah-pengkhotbah yang serius mengkhotbahkan perumpamaan acap
kali membingungkan. Sebab meskipun nampak sederhana, perumpamaan
mengandung beberapa persoalan yang rumit. Persoalan-persoalan tersebut
meliputi: (1) dari sudut manakah berita sebuah perumpamaan harus diambil?
Dari sudut para pendengar pertama yang mendengar langsung ketika Yesus
menceritakan perumpamaan-perumpaman-Nya atau dari perspektif para
pembaca pertama Injil? (2) Dapatkah penafsiran alegori digunakan dalam
khotbah perumpamaan? (3) Apakah bentuk atau model khotbah yang paling
baik untuk mengkhotbahkan perumpamaan? Bentuk deduktif atau induktif?
Satu poin, tiga poin, banyak poin, atau model khotbah narasi? Persoalan-
persoalan di atas membuat banyak ketidakpastian dalam diri para
pengkhotbah. Thomas G. Long menyimpulkannya dengan tepat, “Seorang
pengkhotbah pemula mengkhotbahkan sebuah perumpamaan dengan
keyakinan yang tinggi, melangkahkan kakinya dengan berani seolah berjalan
pada suatu daerah yang sudah ia kenal. . . . Tetapi semakin kita mengenal
perumpamaan, semakin kurang yakin apakah kita sungguh-sungguh
Ada banyak solusi yang ditawarkan oleh para ahli berkenaan dengan
metode khotbah perumpamaan dan salah satunya adalah dari David
Buttrick, seorang dosen homiletika dan liturgi dari Divinity School,
Vanderbilt University. Di dalam bukunya, Speaking Parables: A Homiletic
Guide,2 ia menawarkan model khotbah narasi untuk mengkhotbahkan
perumpamaan. Tawaran ini sangat menarik dan bermanfaat, namun
demikian ada beberapa dari pandangannya yang perlu dicermati secara kritis.
1Preaching and the Literary Forms of the Bible (Philadelphia: Fortress, 1985) 89. 2(Louisville: Westminster, 2000).
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan dan mengevaluasi metode
Buttrick tersebut. Tetapi sebelumnya, akan dibahas tentang definisi
perumpamaan, kemudian menelusuri sejarah khotbah perumpamaan, dan
model-model khotbah perumpamaan yang pada umumnya digunakan dalam
sejarah sejak masa Bapa-bapa gereja mula-mula sampai kini. Ketiga hal itu
akan menjadi dasar pijakan dalam menilai metode khotbah perumpamaan
Sejak lama para sarjana dan pengkhotbah menganggap bahwa
perumpamaan adalah sebuah alegori. Sampai pada beberapa dasawarsa
terakhir ini, sejumlah sarjana mendefinisikan perumpamaan secara berbeda.
C. H. Dodd, misalnya, mendefinisikannya sebagai:
suatu metafora atau simile3 yang diambil dari alam sekitar atau dari
kehidupan sehari-hari, yang menarik para pendengar dengan
kegamblangan dan kejutannya, dan membiarkan pikiran pendengar
dalam ketidakpastian karena aplikasi yang menyentak masuk ke dalam
Sedangkan John Dominic Crossan lebih suka menyebut perumpamaan hanya
sebagai suatu narasi metafora singkat.5 Seorang sarjana lain, Bernard B.
Scott, mendefinisikannya sebagai suatu mashal (bahasa Ibrani yang
artinya”perumpamaan”) yang menggunakan cerita fiksi singkat untuk
mengacu kepada suatu simbol.6 Pendapat yang berbeda-beda ini, pada
satu sisi memperkaya pemahaman para pengkhotbah tentang perumpamaan,
tapi pada sisi lainnya membuat mereka semakin tidak pasti.
Untuk mendapat pengertian yang lebih baik, kita akan memperhatikan
penggunaan kata perumpamaan di dalam Alkitab. Di dalam PL, kata
perumpamaan atau mashal mempunyai pengertian dasar suatu perbandingan
ide. Sebagai contoh adalah perumpamaan yang diceritakan oleh Natan
kepada Daud, yaitu tentang seekor domba betina yang secara dramatis
3Metafora dan simile adalah dua macam cara perbandingan. Metafora
membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, dinyatakan secara implisit dengan
kata adalah. Misalnya, “Tuhan adalah gembalaku,” “Kamu adalah garam dan terang
dunia.” Sedang simile membandingkan secara eksplisit dengan kata seperti atau
seumpama. Contohnya, “Hal kerajaan surga seumpama sepuluh gadis yang. . . .”
4The Parables of the Kingdom (London: Nisbet, 1935) 16. 5Cliffs of Fall: Paradox and Polyvalence in the Parables of Jesus (New York: Seabury,
6Hear Then the Parable (Minneapolis: Fortress, 1989) 35.
dibandingkan dengan kisah ketidakadilan Daud kepada Uria (2Sam. 12:1-
2). Tetapi, mashal, menurut Grant R. Osborne, digunakan pula untuk amsal
atau teka-teki (riddle) yang juga sering dipakai untuk mengemukakan suatu
perbandingan.7 Bila kita perhatikan lebih seksama, kata mashal nampaknya
mencakup banyak hal: tamsil, teka-teki, metafora, alegori, permainan kata-
kata, simile singkat, dan juga cerita pendek yang kita sering sebut
perumpamaan. Joachim Jeremias menyimpulkan bahwa, “kata Ibrani mashal
mencakup semua kategori ini dan umumnya tanpa perbedaan.”8
Di dalam PB kata Yunani parabole digunakan sebagai terjemahan dari
kata Ibrani mashal, yang secara hurufiah artinya adalah “meletakkan di
samping,” “melemparkan ke samping” dan berfungsi juga sebagai suatu
perbandingan yang menunjukkan kesamaan dari paralelisme.9 Kata parabole
itu sendiri muncul sebanyak empat puluh delapan kali di dalam Injil Sinoptik
(tujuh belas kali di dalam Matius, tiga belas kali di Markus, dan delapan
belas kali di Lukas)10 dan tidak pernah ada di dalam Injil Yohanes. Tetapi
itu tidak berarti bahwa hanya ada empat puluh delapan perumpamaan di
dalam PB. Sejatinya, Yesus menggunakan perumpamaan di dalam bentuk
yang berbeda-beda. Ada yang berbentuk metafora (Mat. 15:13-14; 16:6),
simile (Mat. 10:16), amsal (Luk. 4:23, 6:39), teka-teki (Mrk. 7:17), alegori
(Mrk. 4:1-9, 13-20), perbandingan (Luk. 5:36; Mrk. 3:23), simbol (Mrk. 13:28),
kata-kata figuratif (Luk. 5:36-38), simile yang dikembangkan (Mrk. 4:30-
32; Luk. 15:3-7), dan cerita teladan (Luk. 10:29-37). Jelas bahwa kata
parabole di dalam PB mempunyai fungsi yang serupa dengan kata mashal
di dalam PL, untuk melabelkan banyak hal. Tidak heran, Markus mencatat,
“Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Yesus memberitakan firman
kepada mereka . . . dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada
Dari penjabaran di atas kita mendapati bahwa perumpamaan adalah
suatu konsep yang sulit untuk didefinisikan. Namun, satu hal yang bisa
kita catat adalah bahwa kata mashal dan parabole diterapkan pada banyak
jenis sastra. Long menambahkan, “Semua hal yang dikelompokkan dalam
kata perumpamaan bukan karena mereka mempunyai kesamaan bentuk
sastra, tetapi karena mereka mempunyai kesamaan dalam kapasitas intrinsik
untuk ditafsirkan baik secara harfiah ataupun pada tataran simbolis.”11
7The Hermeneutical Spiral (Downers Grove: InterVarsity, 1991) 235. 8Rediscovering the Parables (New York: Charles Scribner’s Sons, 1966) 13. 9Scott, Hear Parable 19. 10Richard N. Longenecker, The Challenge of Jesus’ Parables (Grand Rapids:
SEJARAH PENAFSIRAN DAN KHOTBAH PERUMPAMAAN-
Salah satu cara yang baik untuk mengerti bagaimana perumpamaan
seharusnya dikhotbahkan adalah dengan mempelajari sejarah bagaimana
perumpamaan telah ditafsirkan dan dikhotbahkan. Dari sana kita akan
mendapat gambaran yang nyata tentang masalah-masalah yang dihadapi
oleh para pengkhotbah sepanjang zaman dalam mengkhotbahkan
perumpamaan. Di samping itu, sejarah juga mengajarkan kita untuk
mengenali kesuksesan dan kegagalan mereka, sehingga kita dapat memetik
Zaman Bapa-bapa Gereja sampai Zaman Pertengahan: Pendekatan Alegori
Dari zaman Bapa-bapa gereja sampai zaman Pertengahan,
perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus telah ditafsirkan secara alegori.
Selama berabad-abad, mereka percaya bahwa pendekatan ini adalah satu-
satunya cara yang benar dalam menafsirkan dan mengkhotbahkan
perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus. Mereka selalu mencari
pengertian rohani di dalam setiap aspek, peristiwa, karakter, benda, dan
angka yang terdapat di dalam sebuah perumpamaan melampaui dari apa
yang tertulis. Pendekatan ini dipegang oleh hampir semua Bapa-bapa gereja
awal, termasuk Ireneus, Tertulian, Clement, Origen, dan Agustinus. Satu-
satunya Bapa gereja yang keberatan dengan penafsiran alegori adalah
Chrysostom (347-407). Ia yakin bahwa perumpamaan seharusnya dimengerti
dari historical dan literal setting-nya. Sayangnya, ia tidak konsisten karena
ia sendiri masih menggunakan penafsiran alegori dalam beberapa
khotbahnya. Mungkin itulah sebabnya mengapa pandangannya tidak
mempengaruhi Bapa-bapa gereja lainnya.
Agustinus (354-430), seorang Bapa gereja yang sangat terkenal, malah
senang memakai penafsiran alegori. Salah satu contoh khotbahnya yang
popular adalah khotbah dari teks perumpamaan orang Samaria yang murah
Orang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho menggambarkan Adam
sebagai wakil umat manusia. Yerusalem melukiskan kota surgawi dan
Yerikho menunjuk kepada kefanaan manusia. Penyamun-penyamun
adalah Iblis dan malaikat-malaikatnya yang merampas kekekalan
manusia. . . . Imam dan orang Lewi mengacu kepada orang-orang
dalam Perjanjian Lama yang tidak dapat mencapai keselamatan. Orang
Samaria yang menolong adalah Tuhan Yesus Kristus. Pembalut luka
menunjuk kepada penghapusan dosa manusia. Minyak adalah
penghiburan yang memberi harapan yang baik, sedangkan anggur adalah
Tempat penginapan menunjuk kepada gereja. Dua dinar mengacu
kepada dua hukum kasih. Pemilik penginapan adalah rasul Paulus.
“Waktu orang Samaria kembali” menunjuk pada saat kebangkitan
Satu tokoh yang patut dicatat di zaman Pertengahan yang sadar bahwa
alegori bukan cara yang tepat dalam menafsirkan dan mengkhotbahkan
perumpamaan adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Ia menegaskan bahwa
perumpamaan harus ditafsirkan secara hurufiah dan bukan alegori. Tapi
Aquinas juga tidak ajek, kadang-kadang ia masih menggunakan penafsiran
Zaman Reformasi sampai Zaman Modern: Pendekatan Nonalegori
Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-1564) adalah dua
tokoh yang membawa wawasan baru dalam khotbah perumpamaan. Mereka
menolak pengalegorian perumpamaan dan menekankan pentingnya
grammatical, historical dan literal settings untuk menemukan berita utama
perumpamaan. Bagi Luther alegori adalah spekulasi kosong dan sia-sia.
Ia selalu berusaha menemukan pengertian suatu teks dalam arti hurufiahnya.
Hanya saja dalam prakteknya Luther, seperti juga yang lain, tidak konsisten.
Paling sedikit ia masih mengalegorikan beberapa perumpamaan dalam
khotbah-khotbahnya. Sebagai contoh, dalam perumpamaan orang Samaria
Orang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho adalah Adam yang
membawa masuk dosa ke dalam dunia, imam adalah Bapa-bapa iman
(Nuh, Abraham) sebelum Musa, Lewi adalah para imam di dalam PL,
orang Samaria adalah Yesus, minyak dan anggur adalah anugerah dan
Injil, penginapan adalah gereja, dan penjaga penginapan adalah
pengkhotbah yang memberitakan firman Tuhan.14
12Dikutip dari Warren S. Kissinger, The Parables of Jesus (New Jersey: The
American Theological Library Association, 1979) 26.
13Dikutip dari Robert H. Stein, A Basic Guide to Interpreting the Bible (Grand
14Dikutip dari Robert H. Stein, An Introduction to the Parables of Jesus
(Philadelphia: Westminster, 1981) 49.
Berbeda dengan Luther, Calvin sangat konsisten. Ia menentang keras
Kita harus . . . menolak sama sekali penafsiran alegori dari Origen, dan
tokoh-tokoh lain yang seperti dia, di mana Setan, dengan halus, telah
berusaha keras membawanya masuk ke dalam gereja dengan tujuan
untuk membuat doktrin Alkitab menjadi kabur dan tidak memiliki
Dalam menafsir perumpamaan ia memfokuskan pada tujuan utama
perumpamaan. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa tujuan utama dari
perumpamaan orang Samaria yang murah hati adalah untuk menunjukkan
bahwa pertolongan yang kita berikan terhadap sesama tidak boleh dibatasi
hanya sebatas teman dan relasi, tetapi harus terbuka untuk semua orang.16
Sayangnya, dalam sejarah kita tidak melihat suara reformator besar ini
berdampak pada penafsiran dan khotbah perumpamaan, bahkan setelah
zamannya banyak pengkhotbah masih mengikuti pola Origen dan
Era baru dalam penafsiran dan khotbah perumpamaan muncul pada
waktu Adolf Jülicher–seorang dosen Sejarah Gereja dan PB di Marburg,
Jerman–mempublikasikan bukunya yang berjudul Die Gleichnisreden Jesu
pada tahun 1888. Jülicher meyakinkan bahwa perumpamaan Tuhan Yesus
bukan alegori, melainkan simile atau perbandingan sederhana (A seumpama
B). Karenanya, sebuah perumpamaan hanya mempunyai satu poin
perbandingan atau satu pesan utama saja. Detail perumpamaan tidak
mempunyai arti apa-apa selain memberi dukungan latar belakang pada
cerita.18 Ia membantah bila dikatakan bahwa Yesus menggunakan tafsiran
alegori dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya. Jika ada perumpamaan
Yesus yang bersifat alegori (mis. Mrk. 4:10-12), itu bukan berasal dari Yesus,
tapi dari para penulis Injil yang salah mengerti perumpamaan-perumpamaan
itu. Mereka menganggap bahwa perumpamaan-perumpamaan itu
mempunyai makna lain yang tersembunyi.19 Dampak dari karyanya ini
sungguh sangat luar biasa, sampai-sampai Snodgrass melukiskannya dengan
berkata, “Pendapat Jülicher membunyikan lonceng kematian bagi penafsiran
15Dikutip dari Sidney A. Greidanus, Preaching Christ from the Old Testament
16Dikutip dari Kissinger, The Parables of Jesus 48. 17Osborne, Hermeneutical Spiral 249. 18Stein, An Introduction 53. 19Klyne R. Snodgrass, Challenge of Jesus’ Parables (Richard N. Longenecker, ed.;
alegori yang telah menjadi sarana hermeneutik yang sah dan itu secara
radikal mempengaruhi penafsiran perumpamaan Yesus di kemudian hari.”20
Beberapa puluh tahun kemudian, C. H. Dodd (1935) dan Joachim
Jeremias (1947) masing-masing menerbitkan buku mereka sebagai
penyempurnaan pandangan Jülicher. Mereka menyatakan bahwa
perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus harus dimengerti dari historical
dan cultural setting-nya, serta melihat aspek eskatologi yang terkandung di
Zaman New Hermeneutics: Pendekatan Multi-point dan Realegori
Sejak beberapa dekade terakhir ini, beberapa sarjana, salah satunya
adalah Robert Funk dalam bukunya Language, Hermeneutic, and Word of
God yang terbit pada tahun 1966, merasa bahwa pendekatan A. Jülicher,
C. H. Dodd, dan Jeremias tidak memuaskan. Funk menyangkal bahwa
perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus hanya mempunyai satu poin saja.
Menurutnya, perumpamaan adalah sebuah metafora yang mempunyai
banyak sisi atau poin sebanyak situasi yang digambarkan oleh perumpamaan
itu sendiri. Pada waktu Yesus menceritakan perumpamaan-Nya di hadapan
para pendengar yang berbeda-beda, perumpamaan itu dapat berbicara
kepada setiap pendengar secara pribadi dengan pengertian dan cara yang
Figur terakhir yang patut dicatat dalam perjalanan sejarah khotbah
perumpamaan adalah Craig L. Blomberg, seorang dosen dari Denver
Theological Seminary yang mempublikasikan bukunya Interpreting the
Parables pada tahun 1990. Ia dengan keras menentang pendapat Jülicher,
Dodd dan Jeremias yang mengatakan bahwa setiap perumpamaan hanya
mengajarkan satu kebenaran saja. Menurutnya, kebenaran di dalam sebuah
perumpamaan dapat sebanyak karakter yang muncul di dalam perumpamaan
itu. Ia menghidupkan kembali penafsiran alegori, sebab ia mendapati bahwa
perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus pada hakekatnya adalah alegori.
Namun, tidak seperti Bapa-bapa gereja, dalam pendekatan alegorinya,
Blomberg hanya memfokuskan pada unsur-unsur atau peran-peran utama
Setiap orang yang mendengar perumpamaan Tuhan Yesus niscaya akan
mengidentifikasikan dirinya dengan karakter-karakter yang paling akrab
20Ibid. 21Kissinger, The Parables of Jesus xiii.
di dalam perumpamaan itu, sehingga salah satu poin dalam
perumpamaan itu dapat berbicara lebih keras daripada yang lain.22
MODEL -MODEL KHOTBAH YANG UMUM DIPAKAI DALAM
Sekarang akan dilihat model-model khotbah yang biasanya dipakai oleh
kebanyakan pengkhotbah dalam mengkhotbahkan perumpamaan dan
Mengkhotbahkan perumpamaan ayat demi ayat yang biasa disebut
dengan homili atau tafsiran berjalan adalah bentuk khotbah yang paling
awal. Dalam pendekatan ini seorang pengkhotbah menjelaskan secara
terperinci, memberi ilustrasi, dan kemudian mengaplikasikan ayat demi ayat
secara berurutan. Kelemahan utama metode ini adalah hilangnya struktur
dan kesatuan teologis dari perumpamaan tersebut. Pengkhotbah cenderung
mengabaikan berita utama dari perumpamaan yang dibahasnya dan asyik
dengan penjelasan pernak-pernik yang ditemukannya. “Hasilnya mungkin
sangat menarik sama seperti sebuah kalung yang terdiri dari untaian mutiara,
tutup botol, kacang-kacangan, dan kancing. Tapi pengertian dari
Metode ini didasarkan atas tiga langkah dasar pendekatan
hermeneutika, yaitu, (1) apa yang teks katakan? (2) apa artinya? (3)
bagaimana mengaplikasikannya? Kemudian, kerangka khotbahnya disusun
menjadi (I) kisah dari perumpamaan. . . . (II) arti dari perumpamaan. . . .
(III) aplikasi dari perumpamaan. . . . Metode ini bersifat logis dan eksegetis,
sehingga khotbah menjadi sangat jelas serta bernada alkitabiah. Hanya
saja, metode ini menghasilkan khotbah perumpamaan yang kering, tanpa
ruang artistik di dalamnya karena khotbah hanya dipenuhi dengan argumen-
argumen logis dan sistematis. Kelemahan lainnya adalah khotbah seperti
ini membosankan sebab polanya telah dapat diduga, sehingga perumpamaan
22Interpreting the Parables (Downers Grove: InterVarsity, 1990) 174. 23Buttrick, Speaking Parables 39.
Dalam pendekatan ini seorang pengkhotbah mengembangkan
khotbahnya berdasarkan satu topik yang diambil dalam perumpamaan yang
dikhotbahkannya. Kemudian, ia mengaplikasikan hasilnya kepada para
pendengar dengan membuat poin-poin. Kekuatan dari cara ini adalah
khotbah menjadi lebih fokus, sistimatis, dan mempunyai kesatuan dalam
kerangka khotbahnya, sehingga khotbah menjadi lebih mudah dimengerti.
Sebaliknya, kekurangannya adalah bahwa pengkhotbah gagal untuk
menghargai genre perumpamaan karena plot dan pergantian adegan
perumpamaan tidak mendapat perhatian sama sekali. Khotbah hanya
dipenuhi dengan penjelasan-penjelasan logis. Buttrick mengatakan,
“Pembuatan poin dalam khotbah perumpamaan membuat pengkhotbah
hanya membaca kisahnya, mengambil topiknya, dan kemudian membuang
Model ini diperkenalkan oleh Harry Emerson Fosdick dan disebut “The
New Psychology.” 25 Ia biasanya memulai khotbahnya dengan menjelaskan
dan menganalisis suatu masalah kehidupan yang konkrit, biasanya dengan
menggunakan perspektif psikologis. Kemudian, ia menawarkan solusi yang
bermanfaat dari Alkitab dan secara persuasif meminta pendengar untuk
menerima solusi itu. Pendekatan ini membuat khotbah sangat mengena
dan efektif, sebab apa yang dibicarakan di dalam khotbah adalah masalah
kehidupan yang dihadapi jemaat sehari-hari. Kelemahan yang cukup
signifikan dari pendekatan Fosdick ini adalah bahwa berita khotbah
didominasi oleh kebutuhan jemaat yang sering kali menyingkirkan berita
utama teks. Hal lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Buttrick, adalah
metode ini membuat perumpamaan menjadi resep nasihat untuk menjalani
kehidupan Kristen sehari-hari. Ia berpendapat bahwa “perumpamaan
seharusnya tidak di-psikologisasi-kan dan dijinakkan, serta tidak boleh
diremehkan. Kerajaan Allah bukanlah religious Prozac.”26
Metode ini diperkenalkan oleh Craig Blomberg berdasarkan
pemahamannya bahwa perumpamaan adalah alegori di mana setiap unsur
24Ibid. 40. 25Ibid. 26Ibid. [Penekanan oleh penulis].
atau karakter utamanya mempunyai makna lain di samping makna yang
tertera dalam kisah tersebut. Ia juga berpendapat bahwa perumpamaan
berbicara kepada pendengarnya dari banyak sudut, bukan satu sudut.
Dengan demikian, khotbah tidak memerlukan sebuah proposisi. Dalam
pendekatannya setiap pendengar mempunyai kebebasan untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan karakter-karakter yang ada di dalam
perumpamaan yang sedang didengarnya. Ini membuat khotbah
perumpamaan menjadi lebih kreatif dan atraktif dibanding dengan metode
lainnya. Kekurangannya, pendekatan ini hanya efektif digunakan pada
perumpamaan-perumpamaan yang mempunyai beberapa karakter atau yang
berbentuk narasi. Selain itu, karena khotbah tidak mempunyai proposisi,
pengkhotbah dan pendengar tidak mengetahui dengan pasti apakah fokus
Metode khotbah narasi didasarkan pada asumsi bahwa perumpamaan
adalah narasi. Pada asalnya Yesus menceritakan perumpamaan-
perumpamaan-Nya secara lisan dan kebanyakan dalam bentuk cerita yang
mempunyai alur serta adegan-adegan yang progresif. Mencermati itu,
beberapa sarjana seperti Eugene L. Lowry dan David Buttrick yakin bahwa
cara terbaik untuk mengkhotbahkan perumpamaan adalah dengan cara
narasi. Memaksakan perumpamaan menjadi khotbah satu poin akan
menghilangkan kekuatan dan keunikannya.
Metodologi khotbah perumpamaan Buttick yang menjadi pusat kajian
dari artikel ini akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
METODE KHOTBAH PERUMPAMAAN DAVID BUTTRICK
Dalam mengupas metode khotbah perumpamaan Buttrick yang
dinyatakan dalam Speaking Parables: A Homiletic Guide, bahasan akan
difokuskan pada dua sudut penting. Yang pertama adalah konsep
perumpamaan Buttrick. Kedua adalah metodologi khotbah perumpamaan
Berbeda dengan Jülicher yang menganggap bahwa perumpamaan adalah
simile sederhana, Buttrick menyatakan bahwa “perumpamaan adalah
metafora yang dikembangkan yang memaksa pendengar untuk berpikir lebih
dalam,”27 dan “akibatnya, pendengar mendapat pengertian yang baru
tentang dunia, Allah, dan dirinya sendiri.”28 Metafora adalah suatu misteri
dan mempunyai suatu sistem visualisasi yang efektif dengan beberapa aksi
dan pengertian yang lebih kompleks. Ia menyatakan bahwa jika
perumpamaan adalah simile sederhana, maka perumpamaan menjadi
didaktik, tidak berisi apapun kecuali pelajaran-pelajaran yang jelas untuk
dipelajari. Ini adalah kekeliruan Jülicher.29
Buttrick, sama seperti Dodd dan Jeremias, menganggap bahwa para
penulis Alkitab, khususnya penulis-penulis Injil Sinoptik, telah mengubah
keaslian perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus dengan tujuan agar
perumpamaan-perumpamaan itu dapat menjadi lebih relevan kepada
pendengar atau pembaca mereka. Yang lebih buruk lagi, katanya, di dalam
beberapa perumpamaan penulis-penulis itu telah salah menafsirkannya.
Karena itu, ia menolak penafsiran perumpamaan yang didasarkan pada
konteks para penulis, termasuk juga tujuan mereka menulis perumpamaan-
perumpamaan itu. Dalam pandangannya kisah-kisah perumpamaan-
perumpamaan Yesus yang asli lebih dapat dipercaya daripada konteks
alkitabiahnya yang disusun oleh para penulis Injil.
Dengan alasan itu, ia mendorong pengkhotbah-pengkhotbah masa kini
merekonstruksi perumpamaan-perumpamaan untuk menemukan cerita
Yesus yang asli. Ia yakin bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus yang
aslinya diceritakan secara lisan dan kemudian diceritakan kembali berulang-
ulang oleh orang-orang Kristen mula-mula, sebelum pada akhirnya ditulis.
Namun, katanya, kita masih dapat menemukan struktur dasar atau alur
dari kisah-kisah itu dengan membandingkan perumpamaan yang sama yang
terdapat dalam Injil yang berbeda-beda.
Ia juga menjelaskan bahwa perumpamaan bukanlah anekdot yang
bersifat moral, atau resep hikmat untuk kehidupan sehari-hari, atau bahkan
perlengkapan pengajaran didaktik untuk menolong kita mengerti maksud
Tuhan. Memang, perumpamaan mempunyai pengertian, tetapi bukan
pengertian yang dapat direduksi dalam prinsip-prinsip moral atau teologi.
Sebaliknya, perumpamaan-perumpamaan itu dirancang tidak hanya untuk
menyampaikan pesan, tetapi juga untuk melakukan pesan itu, bahkan
mungkin dirancang untuk pertobatan.30 Perumpamaan-perumpamaan itu
mempunyai kekuatan ketika mereka masuk dalam kesadaran pendengar.
27Ibid. 44. 28Ibid. 19. 29Ibid. 30Ibid. 18.
Buttrick menolak pendekatan homiletik tradisional yang sarat dengan
penekanan rasional dalam mengkhotbahkan perumpamaan. Ia berpendapat
bahwa perumpamaan pada dasarnya adalah cerita dan bergerak menurut
alurnya. “Khotbah dapat mengalir, dari episode ke episode seperti sebuah
cerita yang baik, namun membiarkan kita untuk berespons, berpikir melalui
setiap episode yang kita dengar.” 31 Itulah sebabnya, pengkhotbah tidak
perlu menyatakan proposisi atau kebenaran kekal dalam mengkhotbahkan
perumpamaan. Untuk membuat khotbah perumpamaan dengan baik, ia
memberikan beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh seorang
Setiap perumpamaan mempunyai sebuah plot (alur atau jalan cerita),
dan plot tersebut dapat menjadi fondasi khotbah perumpamaan. Meskipun
demikian, plot perlu dirancang sedemikian rupa sehingga khotbah mampu
mengungkapkan baik pesan maupun tujuan yang mau dicapai oleh
perumpamaan di dalam pikiran pendengar. Untuk mencapai itu, Buttrick
mengusulkan dua cara. Pertama, khotbah berjalan mengikuti alur
perumpamaan dengan agak longgar dari episode ke episode, tapi
memberikan kita kesempatan untuk menanggapi dan memikirkan setiap
episode yang kita dengar. Kemudian, pengkhotbah memberi ilustrasi dalam
setiap episodenya. Dalam posisi ini pengkhotbah menjauhi teks
perumpamaan atau kurang terikat kepada perumpamaan yang
dikhotbahkannya, tapi seolah-olah pengkhotbah dan jemaatnya bersama-
sama mendengar dan bereaksi terhadap perumpaan tersebut. Cara ini sangat
mirip dengan bercerita kepada anak-anak. Kita bisa menginterupsi jalannya
cerita, bereaksi, atau bertanya kepada mereka tentang pendapat mereka.
Cara kedua, khotbah berjalan mengikuti alur perumpamaan dengan lebih
ketat dan memberi perhatian yang besar pada teks tersebut. Kemudian,
pengkhotbah dengan sengaja menceritakannya dengan menggunakan bahasa
dan contoh-contoh kontemporer.32 Dalam posisi ini pengkhotbah
membiarkan perumpamaan tersebut berbicara langsung kepada
pendengarnya dan kepada dirinya sendiri. Buttrick juga menyatakan bahwa
pengkhotbah tidak perlu terpaku dengan plot dari perumpamaan yang
sedang dikhotbahkannya. Ia dapat mengurangi dan atau mengatur ulang
urutan jalan cerita sebuah perumpamaan, agar ceritanya tidak terlalu
panjang dan tetap menarik. Khotbah tidak perlu dimulai dari awal
perumpamaan, ayat per ayat, melainkan bisa dimulai dari bagian yang
menarik dan kemudian melakukan kilas balik.33
Buttrick mencermati bahwa perumpamaan jarang sekali melukiskan
perasaan yang ada di dalam tokoh-tokohnya. Jika ada, kebanyakan disiratkan
di dalam dialog. Oleh karena itu, ia mengingatkan para pengkhotbah agar
jangan membuat khotbah perumpamaan menjadi pesiar psikologi dan
menduga-duga apa yang terjadi lebih dari apa yang dikatakan oleh
perumpamaan itu sendiri. Yang lebih penting, katanya, jangan menjelaskan
apa yang kita rasakan “janggal” (surreal). Biarkan perumpamaan itu
menyimpan misteri kasih karunia yang seringkali tak dapat diterangkan.
Penggunaan Bahasa dan Contoh-contoh Kontemporer
Penggunaan bahasa dan contoh-contoh kontemporer dalam khotbah
perumpamaan, menurut Buttrick, membuat perumpamaan mampu berbicara
dengan efektif pada pendengar masa kini. Tanpa bahasa dan contoh-contoh
yang kontemporer perumpamaan akan menjadi cerita usang yang
membosankan, sebab kebanyakan pendengar telah mengetahui kisah-
kisahnya. Ia menyadari bahwa bahasa mempunyai kekuatan untuk
menghadirkan sesuatu yang tadinya tidak ada, sebelum kata-kata diucapkan,
menjadi ada. Karenanya, ia sangat menekankan agar pengkhotbah
perumpamaan tidak mengabaikan hal ini.
Ia juga mengklaim bahwa untuk mengkhotbahkan perumpamaan
dengan efektif, pengkhotbah mesti menggunakan metafora, ilustrasi-
ilustrasi, dan contoh-contoh yang diambil dari bidang yang sama dengan
bidang yang diceritakan dalam perumpamaan yang sedang dibahas.
Umpamanya, perumpamaan orang Samaria yang murah hati mempunyai
kaitan dengan masalah perjalanan, perampokan, peranan rohaniwan,
pertolongan dalam kecelakaan, dan pandangan teologis tentang belas
kasihan dan mengasihi sesama.34 Penggunaan ilustrasi yang datang dari
bidang kehidupan yang berbeda akan melemahkan dinamika khotbah.
Sulit untuk disangkal, menurut Buttrick, bahwa dalam beberapa
perumpamaan penulis-penulis Injil telah menafsirkan perumpamaan-
perumpamaan Yesus dengan keliru. Misalnya, Matius menutup
perumpamaan tentang pengampunan dengan kalimat, “Maka Bapa-Ku yang
di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-
masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:35).
Menurutnya, “Matius nampaknya tidak mengerti belas kasihan Tuhan yang
tidak terbatas, yang di dalamnya kita hidup dan bergerak, dan menikmati
Dalam beberapa perumpamaan yang lain ia mendapati bahwa penulis-
penulis Injil telah menambahkan dan mengubah perumpamaan Yesus yang
asli. Satu contoh lain terdapat dalam perumpamaan tentang perjamuan
kawin, di mana Matius menambahkan dengan kalimat bahwa tamu-tamu
yang diundang tersebut, “menangkap hamba-hambanya itu, menyiksa dan
membunuhnya. Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke
sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota
mereka” (Mat. 22:6-7). Untuk kasus-kasus seperti itu, ia mengatakan:
Para pengkhotbah bisa memecahkan persoalan ini dengan dua cara
yang bijaksana. Pertama, dalam pembacaan Alkitab anda dapat
menghapus ayat tambahan yang dibuat oleh Matius ke dalam
perumpamaan perjamuan kawin. Anda bahkan dapat menjelaskan pada
jemaat bahwa para sarjana memastikan bahwa dua ayat telah
ditambahkan pada perumpamaan Yesus yang asli. Kedua, bila anda
tidak mau mengedit perumpamaan tersebut, anda dapat mengatakan
dengan pasti bahwa konklusi yang dibuat Matius dalam perumpamaan
pengampunan secara teologis adalah suatu mala petaka.36
PENILAIAN KRITIS TERHADAP METODE BUTTRICK
Beberapa hal yang positif dari Metode Buttrick
Karya Buttrick, Speaking Parables, telah menambah khazanah literatur
tentang khotbah perumpamaan. Ada beberapa sumbangsih pandangannya
yang positif yang patut dicatat untuk memperkaya pemahaman tentang
Penggunaan Bentuk Narasi dalam Khotbah Perumpamaan
Konsep perumpamaan Buttrick menolong para pengkhotbah untuk
menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya menghargai metafora atau
narasi, tapi juga membuat model khotbah yang tepat sehingga
perumpamaan dapat mencapai apa yang ingin dilakukannya dalam diri
pendengar. Ia benar pada waktu ia menyatakan bahwa pemaksaan model
khotbah deduktif pada teks perumpamaan akan mengurangi keistimewaan
perumpamaan. Agar perumpamaan dapat berbicara sama efektif seperti
pada para pendengar mula-mulanya, khotbah perumpamaan membutuhkan
model khotbah narasi. Untuk itu, pengkhotbah perlu menguasai penataan
plot, jarak, dan kejutan dari perumpamaan yang dikhotbahkannya.
Pengaturan Ulang Adegan-adegan dalam Perumpamaan
Sarannya untuk memperlakukan perumpamaan sebagai sebuah drama,
di mana pengkhotbah dapat mengatur ulang dan mengurangi adegan-
adegannya, membuat khotbah perumpamaan menjadi lebih “mengigit.”
Dengan melakukan ini, pengkhotbah dapat menyampaikan khotbahnya
mulai dari adegan yang paling menarik, lalu, mengarah ke adegan yang
mengejutkan sebagai klimaks dari perumpamaan tersebut. Ini adalah suatu
terobosan dalam mengatasi kebosanan yang ada pada metode khotbah
perumpamaan traditional. Pengkhotbah modern perlu mencoba pendekatan
Semua pengkhotbah tahu bahwa bahasa adalah media khotbah yang
utama dan terutama. Tapi, mungkin, tidak banyak pengkhotbah yang
menyadari bahwa bahasa menciptakan kekuatan khotbah, khususnya dalam
khotbah perumpamaan. Buttrick sangat piawai dalam hal ini. Khotbah-
khotbah perumpamaannya begitu hidup dan relevan dengan pendengarnya.
Sarannya agar pengkhotbah menggunakan bahasa kontempor dalam
khotbah-khotbah perumpamaan perlu diikuti.
Selanjutnya gagasannya tentang penggunakan metafora dan contoh-
contoh yang diambil dari bidang-bidang yang sama dengan yang terdapat
dalam perumpamaan yang sedang dikhotbahkan perlu diperhatikan.
Kebanyakan pengkhotbah pada waktu memilih ilustrasi hanya mefokuskan
pada kebenaran yang ada di dalamnya, tapi sama sekali tidak menaruh
perhatian apakah ilustrasi-ilustrasi yang digunakan berasal dari bidang yang
sama dengan kisah perumpamaan tersebut. Ia berkata, “khotbah-khotbah
kita harus dirancang untuk merobohkan cara pandang masyarakat di mana
kita hidup dan membuka wawasan baru dari dunia yang lain – dunia nyata,
dunia Allah.”37 Tanpa menggunakan bahasa dan contoh-contoh
kontemporer dan juga ilustrasi yang tepat, khotbah perumpamaan sukar
Kelemahan-kelemahan dari Pandangan Buttrick
Meskipun metode khotbah perumpamaan Buttrick memberikan manfaat
dan dorongan bagi kita untuk lebih kreatif dalam mengkhotbahkan
perumpamaan, ada beberapa kelemahan yang perlu dicermati.
Konsep penafsiran perumpamaannya yang menolak konteks para
penulis Injil dan lebih mengandalkan pada konteks perumpamaan-
perumpamaan Yesus yang asli tidak bisa diandalkan dan bahkan sangat
riskan. Sebab dalam pandangannya arti dari suatu perumpamaan ditentukan
bukan oleh konteksnya, sebagaimana telah disusun oleh penulis Injil, tetapi
oleh subjektivitas pembaca-pembaca masa kini dalam menduga setting
aslinya. Akibatnya, setiap pembaca dapat menjadi hakim atas perumpamaan-
perumpamaan yang telah dikanonkan itu tanpa suatu standar pengukur
yang obyektif. Selama ini usaha-usaha seperti ini tidak pernah memuaskan
dan hanya menambah sedikit pengetahuan baru tentang pengertian sebuah
perumpamaan.38 Ia sendiri mengakui bahwa apa yang dihasilkan dari
metodenya hanyalah merekonstruksi skenario Yesus, tapi tetap tidak dapat
menemukan kata-kata Yesus yang sebenarnya.39
Sejatinya, kita tidak menyangkal bahwa penulis-penulis Injil dalam
menyusun tulisan-tulisan mereka seringkali lebih merefleksikan situasi
pembaca mereka daripada situasi pendengar mula-mula dari perumpamaan-
perumpamaan Yesus. Tetapi, A. Berkeley Mickelsen menjelaskan,
Yesus mungkin sekali menceritakan kisah-kisah perumpamaan-
perumpamaan-Nya lebih dari satu kali kepada beberapa macam
kelompok orang yang berbeda-beda. Karena itu, keadaan atau latar
belakang kolompok pendengar menjadi kurang penting dibanding latar
belakang perumpamaan tersebut dalam konteks penulis Injil. Setiap
penulis Injil memilih materi-materi tertentu dan mengaturnya di dalam
37Ibid. 38. 38John W. Sider, Interpreting the Parable (Grand Rapids: Zondervan, 1995) 227. 39Speaking Parables 12.
Injil mereka menurut dua prinsip: dengan pola kronologis dan pola
Harvey K. McArthur dan Robert M. Johnston mendapati bahwa di
abad pertama kepustakaan para rabi menunjukkan adanya fenomena
pendaur-ulangan atau pengaplikasian kembali perumpamaan-
perumpamaan. Hal ini mengkonfirmasi bahwa para penulis Injil pasti telah
diinsipirasikan untuk melakukan hal yang sama pada cerita-cerita yang
mereka telah terima dari Yesus, agar semua dapat sesuai dengan kebutuhan
rohani dari pendengar atau pembaca mereka. 41 Jadi, penulis-penulis Injil
tidak mengubah tujuan Yesus dan tidak menyalahtafsirkannya, tetapi apa
yang mereka tuliskan merupakan aplikasi dari perumpamaan-perumpamaan
Yesus pada situasi yang dihadapi oleh mereka saat itu. Karena itu, tidak
ada sesuatu yang patut dicurigai dengan perumpamaan-perumpamaan yang
Dengan demikian, cara yang terbaik untuk menafsirkan perumpamaan
bukan dengan cara mencari perumpamaan yang asli, tetapi menimbang
konteks sejarahnya dengan menggunakan literal dan historical
interpretation. Dengan perkataan lain, pengkhotbah wajib berusaha
mengerti bagaimana para penulis Injil menafsirkan perumpamaan Yesus
tersebut. Gredainus benar pada waktu ia menyatakan bahwa pengertian
orisinal dari penulis sangat penting, karena hal itu menawarkan tolak ukur
yang objektif terhadap penafsiran yang bersifat subjektif dan tak menentu.42
Jadi, tugas utama seorang pengkhotbah masa kini bukan menemukan atau
merekonstruksi perumpamaan Yesus yang mula-mula, tetapi menemukan
tujuan mula-mula perumpamaan itu menurut penulis Injil. Dalam hal ini
latar belakang dan konteks sebuah perumpamaan dari sudut penulis Injil
Mengambil Plot dan Membuang Latar Belakang Perumpamaan
Apa yang Buttrick kritik dari metode tekstual-topikal, yaitu mengambil
sebuah topik yang terdapat dalam sebuah perumpamaan dan membuang
sisanya, berlaku juga baginya dengan melakukannya kesalahan yang serupa,
yaitu mengambil plot perumpamaan dan mengabaikan yang lainnya,
termasuk latar belakangnya. Dasar khotbah perumpamaannya adalah
mengambil plot perumpamaan, kemudian mengubahnya di mana perlu, dan
membumbuinya dengan persoalan dan bahasa pendengar masa kini.
40Interpreting the Bible (Grand Rapids: Eerdmans, 1966) 229. 41They Also Taught in Parables (Grand Rapids: Zondervan, 1990) 198. 42Preaching Christ 285.
Konsekuensi logis dari pandangan Buttrick ini adalah bahwa latar
belakang perumpamaan tidak dibutuhkan dalam khotbah perumpamaan.
Baginya, penjelasan latar belakang Alkitab di dalam khotbah perumpamaan
hanya akan membuat khotbah menjadi pameran kelas pemahaman Alkitab
dan itu akan membuat perumpamaan kehilangan kesegaran dan kekuatan
Sebagai suatu peraturan saya menghindari bagian latar belakang di
dalam khotbah, dan saya jarang menyebutkan teks itu sendiri. Khotbah
yang alkitabiah bukan berarti khotbah tentang Alkitab; tapi khotbah
tentang berita Alkitab yang telah ditafsirkan oleh kemampuan teologis
Walaupun pemikirannya ini cukup menarik, tapi memiliki kelemahan
yang mendasar. Khotbah perumpamaan tanpa mengaitkan latar belakang
kehidupan Alkitabnya berarti memisahkan khotbah dari konteks sejarah
khotbah yang berasal dari Alkitab sendiri. Ini akan membuat khotbah
nampak asing bagi jemaat, seolah-olah mereka mendengar perumpamaan
yang berbeda yang tidak ada hubungannya dengan Alkitab. Lambat laun
khotbah-khotbah semacam itu akan kehilangan otoritas ilahinya. Fred B.
Craddock menyatakan bahwa seorang pengkhotbah tidak bisa
mengkhotbahkan sesuatu yang seratus persen baru. Perlu diingat bahwa
mimbar gereja mempunyai sejarah dan tradisi yang dibangun berabad-abad
lamanya. Tradisi tersebut meliputi nyanyian puitis Yesaya (52:7), Yunus
(3:4), Yohanes Pembaptis (Mrk. 1:4), Tuhan Yesus (Luk. 4:21), Rasul-rasul
(Kis. 5:42), dan berlanjut sampai ke Paulus (1Kor. 1:17), Bapa-bapa gereja
awal, dan Agustinus.45 Membuat suatu terobosan yang kreatif dalam
berkhotbah patut dihargai, tapi itu bukan berarti kita harus meninggalkan
akar tradisi yang kuat, yaitu Alkitab.
Dampak negatif lainya dari pendapat Buttrick itu adalah bahwa
pengkhotbah tidak perlu berusaha keras untuk menyelidiki historical
background dari perumpamaan. Apa yang diperlukannya hanyalah plot
perumpamaan yang akan menjadi dasar dari alur khotbahnya. Cara mudah
ini akan membawa para pengkhotbah untuk berkhotbah tanpa pengertian
yang matang baik tentang latar belakang maupun makna dari perumpamaan
tersebut. Di sisi lain, hal itu tentu akan membuat jemaat semakin tidak
mengenal Alkitab. Penjelasan tentang latar belakang perumpamaan bukan
suatu pameran pengetahuan Alkitab, tapi merupakan bagian integral dari
43 Buttrick, Speaking Parables 41. 44Ibid. 129. 45Preaching (Nashville: Abingdon, 1985) 36
khotbah perumpamaan. Hampir semua perumpamaan Yesus terkait erat
dengan budaya setempat saat itu. Tanpa menjelaskan budaya yang
melatarbelakangi sebuah perumpamaan, para pendengar tidak mudah untuk
mengerti, menghargai, dan menghayati makna perumpamaan yang mereka
dengar. Namun itu tidak berarti bahwa pengkhotbah harus menghabiskan
sebagian besar waktu khotbahnya hanya untuk menceritakan latar belakang.
Tentu saja, ia perlu memilih dan memilah informasi yang relevan dengan
Sebagaimana Jülicher, Buttrick selalu menyalahkan para penulis Injil
atau Bapa-bapa gereja mula-mula karena pendekatan alegori mereka. Oleh
sebab itu, ia sangat menentang penafsiran dan khotbah perumpamaan secara
alegori. Namun belakangan ini, beberapa sarjana, salah satunya adalah
Craig Blomberg, meragukan pandangan tersebut. Pada kenyataannya,
memang sulit untuk menyangkal bahwa beberapa perumpamaan Tuhan Yesus
adalah alegori. Pernyataan ini tidak berarti bahwa setiap hal dalam
perumpamaan mempunyai pengertian rohani atau arti tersembunyi, tapi
hanya hal-hal tertentu. Umpamanya, dalam perumpamaan gadis-gadis yang
bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh kita mengetahui dengan pasti bahwa
sang mempelai adalah gambaran dari Anak Manusia, Yesus. Sepuluh anak
dara menunjuk pada orang-orang Kristen yang sedang menunggu kedatangan
Tuhan Yesus yang kedua kali; kedatangan sang mempelai yang tidak diduga
adalah kedatangan Yesus secara tiba-tiba, pesta perkawinan adalah
pertemuan besar yang penuh sukacita antara Yesus Kristus dengan gereja-
Nya, dan penolakan gadis-gadis yang bodoh adalah penghakiman terakhir.
Juga dalam perumpamaan anak yang hilang tiga karakter utama yang
berperan di dalamnya menyatakan bukan hanya sekedar hubungan keluarga,
melainkan sang bapa juga melukiskan diri Allah, anak yang bungsu mewakili
mereka yang bertobat, dan anak yang sulung menggambarkan mereka yang
tidak bertobat. Jadi, pendapat Buttrick bahwa perumpamaan Tuhan Yesus
tidak boleh ditafsirkan secara alegori tidak seluruhnya benar karena beberapa
perumpamaan Tuhan Yesus pada hakekatnya adalah alegori.
Model Khotbah Narasi untuk Semua Perumpamaan
Buttrick menganggap bahwa semua perumpamaan bentuknya adalah
narasi,46 karenanya ia menawarkan model khotbah narasi sebagai model
yang paling cocok untuk mengkhotbahkan perumpamaan. Padahal,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kata mashal atau parabole mempunyai
banyak arti yang berasal dari banyak bentuk sastra yang berlainan. Setiap
bentuk mempunyai ciri-ciri khas dan tentu saja membutuhkan perlakukan
khotbah yang berbeda pula. Thomas G. Long mengatakan:
Kata “perumpamaan” adalah suatu istilah yang elastis yang
rentangannya cocok untuk banyak tipe sastra yang berbeda-beda.
Perumpamaan muncul dalam banyak bentuk dan jangan memperlakukan
semua perumpamaan dengan cara retoris yang sama.47
Itu berarti tidak ada satu model khotbah yang cocok untuk semua bentuk
Penggunaan model khotbah yang tidak tepat akan merusak kekuatan
dari perumpamaan itu sendiri. Penulis-penulis Injil memilih bentuk yang
khusus untuk mengkomunikasikan pesan mereka dengan suatu keyakinan
bahwa wahana yang mereka pilih adalah yang paling efektif untuk
menyampaikan pesan mereka. Ada hubungan yang erat antara media yang
mereka gunakan dengan pesan yang mereka ingin sampaikan. Fred B.
Craddock bahkan yakin bahwa “media adalah suatu pesan, jika bukan pesan
itu sendiri.”48 Pengkhotbah patut memberi perhatian baik kepada berita
maupun bentuk perumpamaan untuk menentukan model khotbah apa yang
seharusnya ia pergunakan. Perumpamaan yang mempunyai bentuk narasi
cocok untuk dikhotbahkan dengan model khotbah narasi atau induktif,
seperti yang Buttrick usulkan. Tapi, perumpamaan yang bentuknya non-
narasi–yang ditandai dengan tidak adanya plot di dalamnya seperti garam
dan terang dunia (metafora), atau anggur yang baru dalam kantong kulit
yang tua (perbandingan)–mustahil dikhotbahkan dengan model narasi.
Karya Buttrick Speaking Parables: A Homiletic Guide berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan yang sering muncul
dalam benak para pengkhotbah, khususnya tentang seputar khotbah
perumpamaan. Apa yang ditawarkannya mendatangkan stimulan bagi para
pengkhotbah untuk mengkhotbahkan perumpamaan lebih kreatif dan
atraktif agar mampu berkomunikasi dengan pendengar masa kini.
Penggunaan bentuk narasi, pengaturan ulang plot dan adegan-adegan
perumpamaan, serta penggunaan bahasa dan contoh-contoh kontemporer
dalam khotbah perumpamaan merupakan idenya yang harus dipuji.
47Preaching 89. 48As One Without Authority (St. Louis: Chalice, 2001) 114.
Namun demikian, metodenya memiliki kelemahan-kelemahan yang
perlu dicermati dengan seksama, khususnya dalam konsep penafsirannya
yang mengabaikan historical setting dari teks dan usahanya untuk
menemukan kembali perumpamaan Yesus yang asli yang hanya menghasilkan
konklusi yang tidak pasti. Juga metode khotbahnya yang sepenuhnya
mengandalkan plot dan mengabaikan latar belakang perumpamaan membuat
khotbah tidak lagi bertumpu pada tradisi mimbar yang berabad-abad
lamanya dan yang berasal dari Alkitab. Akibatnya, perlahan tapi pasti,
khotbah akan kehilangan otoritasnya dan jemaat semakin asing dengan
Alkitab. Hal lain, pendapatnya yang menolak penafsiran alegori dalam
mengkhotbahkan perumpamaan tidak dapat dipertahankan karena beberapa
perumpamaan Tuhan Yesus pada hakekatnya adalah alegori. Yang terakhir,
model khotbah narasi untuk mengkhotbahkan perumpamaan memang tepat,
tapi hanya untuk perumpamaan yang berbentuk narasi. Memaksakan model
khotbah narasi pada perumpamaan yang bukan berbentuk narasi, sama
halnya dengan memaksakan model khotbah deduktif pada perumpamaan
yang berbentuk narasi; hasilnya, suatu ketimpangan.
FACULTY GUIDELINES FOR ACCOMMODATING STUDENT RELIGIOUS OBSERVANCES When planning courses, departmental programs, and other activities for the academic year, it is useful to remember the rich mixture of religious and ethnic groups that comprise our student population. The following list includes some religious holy days, civic holidays and festivals that occur during the academic year, vario
C. Prestación Farmacéutica 14/1/05 16:24 Página 44ANEXO B. FÓRMULAS MAXISTRAIS E PREPARADOS OFICINAISLISTA DE PRINCIPIOS ACTIVOS PARA FORMULACIÓN MAXISTRAL Comentario ¤ /gramo ou enfermidades asociadas segundo a clasificación ICM-9 ou enfermidades asociadas segundo a clasificación ICM-9 activos en procesos patóloxicos que requiran fotoprotecciónC. Prestación Farmacéutica 14/1